logo blog

Jumat, 11 Mei 2012

RESENSI INOVASI PENDIDIKAN DUNIA KETIGA

RESENSI
INOVASI PENDIDIKAN DUNIA KETIGA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia II
Dosen Pembimbing
Drs. Muhammad Sahri, M.Pd










Oleh :
Usman



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-QOLAM
PROGRAM STUDI PAI
MALANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasa cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cinta akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah mencintai. Sedangkan sophia adalah kebijaksanaani. Dalam perspektif pencarian kebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalah salah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat dari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan dunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat. Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.
Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat. Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Jika ditinjau dari segi historis tentang sejarah perkembangan filsafat maka Kita bisa membaginya ke dalam empat periode II:




1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM – Akhir Abad 3 SM).
Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas secara menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek ilmu filsafat seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek Epistemologi (why, how), dan aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya yg terkenal adalah seperti Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetapiii. Plato (427 – 347 SM) berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir keduanya.
Baginya hakikat kenyataan ada dua yaitu yang tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat kenyataan yang sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 – 322 SM) yang juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato, yang juga mencoba memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak pada yang berubah. Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk. Materi merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainyaiv.
2. Masa Abad Pertengahan (Akhir Abad 3 SM �$80� Awal Abad 15 M).
Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang mana dipimpin oleh Ratu Cleopatra (69-30 SM). Kemudian ±5 abad kemudian ketika masa kekuasaan Kaisar Justianus di Kerajaan Romawi ±529 M. Filsafat dilarang dan semua bentuk pemikiran dikembalikan ke Dogma Gereja. Yang pada akhirnya akan memunculkan para ktitikus- kritikus yang menolak Dogma-Dogma Gereja ini, yang menganggap bahwa agama terlalu membatasi pikiran manusia untuk memjadi lebih maju. Yang mana seiring dengan berjalannya waktu akan memunculkan aliran-aliran baru seperti aliran Neo-Platonisme (± abad ke 13) yaitu Platonisme manunggal dengan Dogma Gereja. dengan tokohnya Thomas Aquines (1225 M – 1274 M).

3. Masa Modern (Akhir Abad 15 M – Abad 19 M). Di tandai dengan:
a. Gerakan Renaissance (kelahiran kembali)
untuk membentuk mentalitas individual – kebebasan, persamaan, emansipasi, serta otonomi diri.
b. Revolusi Copernicus (1473 M – 1543 M)
dengan teorinya bahwa Matahari merupakan pusat alam semesta, serta teori Metode induktif – experimental.
c. Zaman Aufklarung (pencerahan / abad 18 M)
Menggunakan akal budi dengan inti :
1) Ajaran Rasionalisme (Rene Descartes, 1596 M - 1650 M).
2) Ajaran Empirisme (Francis Bacon, 1561 M - 1626 M).
3) Ajaran Kritisisme (Immanuel Kant, 1724 M - 1804 M).
4) Filsafat Pragmatisme (William James, 1842 M - 1910 M).
d. Filsafat Fenomenologi (Edmund Husserl, 1859 M - 1938 M)
Dengan teori kebenaran adalah kenyataan benda itu sendiri. Ada tiga tahap dalam metode fenomenologis yaitu :
1) Reduksi Fenomenologis.
2) Reduksi Eidetis.
3) Reduksi Transendental.
e. Filsafat Eksistensialisme (S. Kierkegaard, 1813 M - 1855 M).
4. Masa Kontemporer (Abad 20 M).
a. Filsafat Analitik (Ludwig Wittgenstein, 1889 M - 1951 M).
b. Filsafat Eksistensialisme (Jean Paul Sarte, 1905 M – 1980 M).
• Ia mengangga p manusia bebas memilih moralitas yang diinginkan hingga menciptaka n eksistensi dirinya. Manusia melakukan kebaikan, pendidikan bagi keturunann ya dan hidup bermasyarakat.
• Ia juga menganggap Tuhan tidak ada dan manusia dapat memeranka n peranan Tuhan (Vincent Martin). c. Ethics and Limits of Philosophy (Bernard Williams). Dengan luasnya wacana filsafat dari ranah filsafat kuno hingga kontemporer, maka penulis berusaha membatasi pokok-pokok bahasannya hanya dalam ranah filsafat periode masa modern dengan spesifikasi Filsafat Fenomenologi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Edmund Husserl.
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Edmund Husserl (1859 M - 1938 M).
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita.
Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya di Jerman dan Perancisv. Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan Kita tentang fenomena obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang muncul setelahnya, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi.
Tahun 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat - karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.
Husserl meninggal dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumoniavi.
A. Pengertian Fenomenologi.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan atau memperlihatkanvii. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang kritisviii. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon).
Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diriix. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman- pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnyax. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaranxi, Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme.
Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, Kita akan terjebak pada dikotomixii (subyek-obyek yang menyesatkan atau bertentangan satu sama lain). Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl.
Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigorisxiii (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni.
B. Intensionalitas Menurut Husserl “prinsip segala prinsip”
ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan kepada Kita dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada Kita sebagai subjekxiv. “Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran.
Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Maka sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaranxv. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada.

Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguh- sungguh melihat suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran. Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia.
Oleh karena itu Kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”. Pengalaman bukanlah sebuah “celah” yang mana, dunia hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita, sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas, yang melekatkannyaxvi. Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni:
1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu.
2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tersebut.
3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya.
4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusixvii. “Konstitusi” merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran.
Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.
Tidak ada kebenaran pada dirinya yang lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensionalxviii. Sebagai contoh dari konstitusi: “Kita melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, Kita melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu.
Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam cara Kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi nyata dalam kesadaran, adalah merupakan suatu aspek historis.
C. Tiga Jenis Reduksi
Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi.
Dalam usaha untuk melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi, yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung (metode bracketing).
Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Dengan kata lain reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenarannya.
Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi Fenomenologi Transedental.
1. Reduksi Fenomenologis.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap Kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang diteliti hanya yang sejauh Kita sadari. Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini adalahxx:
a. Dengan “mengurung” atau bracketing yaitu meminggirkan keyakinan Kita akan totalitas obyek- obyek dan segala hal yang Kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman Kita tentangnya.
b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pengurungan”.
2. Reduksi Eidetis.
Adalah menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada wesen-nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya, “manusia adalah hakikatnya dapat mati”, bukan suatu inti yang tersembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang disadarinya.


Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan.
Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial. Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”. Dengan reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaan- perbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi saja.
3. Reduksi Fenomenologis Transedental.
Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut dapat memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi yang ketiga ini sudah bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus pengarahan intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai kesadaran sendiri yang bersifat transedental.
Fenomenologi harus menganalisis dan menggambarkan cara berjalannya kesadaran transedental. Yang menarik dan sangat penting dari metode fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya.
Dalam metode bracketing dengan berbagai reduksi-reduksi yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai pengalaman “supra- empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori. Husserl agaknya telah mampu mensintetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat, di satu pihak Ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran transedental sebagai kebenaran tertinggi. Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan yang mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi.
Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.
D. Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa, salah satunya adalah tentang “Global Warming”. Adapun fenomena yang baru saja Kita alami yakni bencana alam, semisal gempa bumi ataupun tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri Kita ini.
Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang Kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena- fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Karena Kita harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-kenomena alam bukan saja dari luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. “Biarkan Fenomena yang berbicara pada Kita”.








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya, dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama. Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi.
Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain, M. Scheler dan Merleau- Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa Kita harus memperkenalkan gejala- gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada Kita kalau Kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.


THE POWER OF KEPEPET
my rating:
didn't like itit was okliked itreally liked itit was amazing
add to my books Added to my books!
add my review
The Power of Kepepet
by Jaya Setiabudi
The Power of Kepepet 3.33 of 5 stars3.33 of 5 stars3.33 of 5 stars3.33 of 5 stars3.33 of 5 stars 3.33 • rating details • 18 ratings • 8 reviews
LEBIH BAIK KECIL JADI BOS, DARIPADA GEDE JADI KULI. Itulah pesan orangtua yang selalu terngiang di benak Jaya Setiabudi dan akhirnya mendorong dia untuk sungguh-sungguh menjadi seorang entrepreneur, menjadi bos beberapa perusahaan. Pengalaman jatuh bangun menjadi seorang entrepreneur itulah yang dituangkan dalam buku ini. Dia ingin menjawab apa yang selalu dibutuhkan orang...


EmoticonEmoticon