1. Hikmahnya
Al-Allamah Ibnul Qayyim –rahimahullah berkata: "Dan (Allah)
syari'atkan i'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah
berdiamnya hati kepada Allah dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat
denganNya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan
diri kepada Allah semata.”
Belaiu juga menyebutkan diantara tujuan i’tikaf adalah agar
supaya kita bertafakkur (memikirkan) untuk selalu meraih segala yang
mendatangkan ridha Allah dan segala yang mendekatkan diri kepadaNya dan
mendapatkan kedamaian bersama Allah sebagai persiapan kita menghadapi kesepian
di alam kubur kelak.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berkata:
“Tujuan dari pada i’tikaf adalah memutuskan diri dari manusia untuk meluangkan
diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah di dalam masjid agar supaya meraih
karunia dan pahala serta mendapatkan lailatul qadar. Oleh sebab itu hendaklah
seorang yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan berdzikir, membaca
(Al-Qur’an), shalat dan ibadah lainnya. Dan hendaklah menjauhi segala yang
tidak penting dari pada pembicaraan masalah dunia, dan tidak mengapa berbicara
sedikit dengan pembicaraan yang mubah kepada keluarganya atau orang lain untuk
suatu maslahat, sebagaimana hadis Shafiyyah Ummul Mukminin –radhiallahu anha
berkata: “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam
beri’tikaf lalu aku mengunjunginya pada suatu malam dan berbincang dengannya,
kemudian aku bangkit untuk pulang lalu Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi
Wa Sallam bangkit bersamaku (mengantarkanku).” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Makna I'tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan
bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya
sebagai mu'takif dan 'akif (orang yang sedang i’tikaf).
3. Disyari'atkannya I'tikaf dan Waktunya
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang
tahun. Telah shahih bahwa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam
beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dan sahabat Umar –Radhiallahu ‘Anhu pernah bertanya kepada Nabi
–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu)
aku akan beri'tikaf semalam di Masjidil Haram ?" Beliau –Shallallahu
‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda, "Tunaikanlah nazarmu." Maka
ia (Umar) beri'tikaf semalam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis sahabat Umar ini adalah dalil bahwa i’tikaf boleh
dilakukan diluar bulan Ramadhan dan tanpa melakukan puasa, karena i’tikaf dan
puasa adalah dua ibadah yang terpisah dan tidak disyaratkan untuk menggabungkan
keduanya, ini adalah pendapat yang benar. Diperbolehkan pula i’tikaf beberapa
saat (tidak dalam waktu lama). (“Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”,
Karya Syaikh Utsaimin 6/508-509 dan 6/511..)
Yang paling utama adalah pada bulan Ramadhan, berdasarkan hadits
Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu , bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa
‘Ala Alihi Wa Sallam beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan
manakala tiba tahun yang dimana beliau diwafatkan, beliau beri'tikaf selama dua
puluh hari. (HR. Bukhari)
Dan yang lebih afdhal lagi adalah pada akhir bulan Ramadhan,
karena Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri'tikaf pada
sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Ta’ala mewafatkan
beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang berniat i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan hendaklah memulai i’tikafnya pada hari keduapuluh Ramadhan sebelum
matahari terbenam, jadi malam pertamanya adalah malam keduapuluh satu Ramadhan.
(Lihat “Al-Mughni”, Ibnu Qudamah 4/489-491, “Mukhtashar
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” An-Nawawi 6/211, “Fiqhus Sinnah”, Sayyid
Sabiq 1/622-623, dan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh
Utsaimin 6/521)
4. Hendaklah I’tikaf Dilakukan di Masjid
Hendaklah i’tikaf dilakukan di masjid sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “…dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Ayat tersebut juga dalil atas diharamkannya jima’ dan segala
pendahuluannya –seperti mencium dan meraba dengan syahwat- bagi orang yang
i’tikaf.
I’tikaf boleh dilakukan di semua masjid, akan tetapi yang paling
afdhal adalah i’tikaf di tiga masjid (Masjil Haram Mekkah kemudian Masjid
Nabawi Madinah kemudian Masjdil Aqsha Palestina) sebagaimana sabda Rasulullah
–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Tidak ada i’tikaf (yang lebih
sempurna dan afdhal) kecuali di tiga masjid (tersebut).”
(HR. AbduR Razzaq dalam “Al-Mushannaf” (8037) dengan sanad
sahih. Lihat “Shifat Shoum Nabi“ hlm 93 dan gabungkan dengan “Asy-Syarhul
Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/505)
5. Wanita Boleh Beri’tikaf di Masjid
Wanita diperbolehkan i’tikaf di masjid bersama suaminya atau
sendirian, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha : “Bahwasanya Nabi
–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri
beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah berkata:
“Dalam hadis tersebut ada dalil bahwa boleh wanita beri’tikaf. Dan tidak
diragukan lagi bahwa hal itu terikat oleh ijin dari wali mereka, aman dari
fitnah (hal-hal yang tidak di inginkan) dan tidak terjadi kholwah (berdua-duan)
dengan laki-laki berdasarkan dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut dan
juga kaidah fiqih: Menolak kerusakan adalah didahulukan daripada mendatangkan
kebaikan.”
6. Tidak Keluar dari Masjid Kecuali Seperlunya
Hendaklah orang yang i’tikaf tidak keluar dari masjid selama
’tikaf kecuali seperlunya, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha:
“Yang sunnah bagi orang i’tikaf adalah tidak keluar kecuali untuk perkara yang
mengharuskannya keluar.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad sahih)
Aisyah berkata pula: “Bahwasanya Rasulullah–Shallallahu ‘Alaihi
Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam apabila i’tikaf tidak masuk rumah kecuali karena hajat
manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keluar dari masjid ketika ’tikaf ada tiga macam:
a). Keluar untuk suatu perkara yang merupakan keharusan seperti,
buang air besar dan kecil, berwudhu dan mandi wajib atau lainnya seperti makan
dan minum, ini adalah boleh apabila tidak memungkinkan dilakukan di dalam
masjid.
b). Keluar untuk perkara ketaatan seperti, menjenguk orang sakit
dan mengantarkan jenazah, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali apabila dia
telah berniat dan mensyaratkannya di awal i’tikaf.
c). Keluar untuk perkara yang menafikan i’tikaf seperti, untuk
jual beli, jima’ dan bercumbu dengan isterinya dan semacam itu, hal ini tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan i’tikaf dan menafikan maksud dari
i’tikaf. (“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 160. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah)
[Sumber; Kitab 'Fiqh Ramadhan', karya Abdullah Sholeh Hadrami]
EmoticonEmoticon