logo blog

Jumat, 11 Mei 2012

Geostrategi Indonesia

KATA PENGANTAR
segala puji bagi Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang yang selalu memberi rahmanya kepada kita semua dan tidak lupa pula kami pajatkan sholawat dan salam kepada junjungan nabi kita yaitu nabi muhammmad saw karena berkat beliau kita dapat berada pada jalan yang lurus yang di ridhoi Alloh SWT amin.
dengan pertolongan Allah dan hidayah-Nyalah , makalah ini dapat kami selesaikan dan di susun berdasarkan kemampuan kami dengan harapan dapat bermampaat bagi kita semua .
penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan kritikan dan saran yang bersifat positif untuk kesempurnaan makalah ini . merupakan suatu harapan pula , semoga makalah ini menjadi amal soleh dan menjadi motifator bagi penulis untuk menyusun makalah ini yang lebih baik dan bermanfaat.



Gonganglegi, 07 Desember 2010


Penulis




BAB l
PENDAHULUAN
Idea atau ide dasar adalah awal mula satu tatanan pemikiran yang pada ujung paling akhirnya berupa tindakan nyata. Dalam masyarakat yang menegara atas dasar commitment para pendiri Republik ini, ide yang dijadikan acuan brsama adalah terbentuknya masyarakat yang berazaskan kekeluargaan dengan atribut tata laku sebagaimana berlaku pada umumnya diantara masyarakat timur.
Paternalistik, gotong royong, mendahulukan kepentingan bersama, adalah diantara atribut lainnya yang menjadi ciri khas masyarakat timur tadi. Apabila selanjutnya ide dasar harus dijadikan acuan masyarakat bangsa dalam bertatalaku, maka dapat dikatakan bahwa ia telah berubah dari satu ide menjadi pandangan hidup yang operasional; dan apabila pandangan hidup tadi diberikan kerangka ilmiah dan dikodifikasikan secara jelas maka terbentuklah satu falsafah bangsa.
Kemudian dari itu, apabila falsafah bangsa dijadikan landasan negara maka ia akan mewujud sebagai satu ideologi negara. Untuk Indonesia, pandangan hidup berbangsa, falsafah bangsa, maupun ideologi negara semua diberi nama yang sama, yaitu Pancasila. Bagi bangsa/negara lain tidaklah demikian halnya, masing-masing mempunyai nama yang berbeda-beda sehingga mengurangi kerancuan.
Tidak semua negara memiliki ideologi negara karena ia memang bukanlah salah satu syarat untuk berdirinya satu negara. Akan tetapi bagi negara yang memiliki ideologi, ia selalu menjadi acuan bagi seluruh sistem yang ada maupun tata-laku masyarakatnya.
Kalau disimak benar maka ideologi negara kita bukanlah berupa satu uraian ilmiah yang panjang akan tetapi lebih merupakan patok-patok yang membatasi koridor diantara mana dinamika masyarakat kita sangat diharapkan berada diantaranya. Apabila dilihat dari segi itu maka dapat juga ditafsirkan bahwa kelima sila tersebut lebih berupa sebagai uraian cita-cita nasional daripada satu rangkuman pemikiran atau falsafah secara rinci dan ilmiah.
Sebagai satu kumpulan cita-cita ia harus dikejar dan diupayakan agar secara bertahap dapat diwujudkan. Misalnya saja Sila Persatuan Indonesia, keadaan kita saat ini memang amat jauh dari cita-cita itu, akan tetapi tidak berarti bahwa hal tersebut tidak dapat diwujudkan dikemudian hari, entah kapan. Itulah cita-cita, yang pencapaiannya merupakan satu never ending goal.
Dalam rangka pencapaian cita-cita tersebut diatas kita sekalian seluruh bangsa dihadapkan pada berbagai jenis kendala, pluralisme masyarakatnya, konfigurasi geografis maupun keadaan dinamika lingkungan strategis yang dampaknya tidak mungkin diabaikan.
Oleh karena itu berbagai prasyarat harus dipenuhi agar perjalanan pencapaian cita-cita itu terjamin. Prasyarat semacam itu disebut geo-politik, yang bagi kita dirumuskan secara singkat dalam bentuk Wawasan Nusantara.
Pada intinya Wawasan Nusantara mengisyaratkan perwujudan kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam sebagai satu prasyarat seutuhnya. Makna sesungguhnya akan pentingnya inti sari geo politik kita itu amat terasa pada saat menjelang maupun setelah berakhirnya Orde Baru dimana seakan-akan segala bentuk kesatuan (dan juga persatuan) ditenggelamkan dibawah emosi kesukuan, keagamaan maupun kepolitikan. Bahkan seolah-olah negara kesatuan pun akan ditelan habis oleh emosi tersebut. Adakah ramalan Huntington benar?
Ataukah kita lalai melaksanakan nation and character building sehingga kefahaman tentang kebangsaan dan negara bangsa dikalangan generasi muda sama sekali tidak ada bekasnya. (kalaupun pernah membekas walaupun selembut apapun).
Ataukah sistem pendidikan kita telah mencair, dan yang tinggal hanyalah sekadar sistem pengajaran saja (dan itupun dalam kondisi yang memerlukan perhatian besar).
Apapun juga penyebabnya atas kejadian-kejadian saat itu, nyatanya bangsa dan negara kita telah terpuruk dalam pergaulan antar bangsa dan terkesan tentang adanya kemerosotan etik dan moral yang ditandai antara lain oleh saling membunuh sesama anak bangsa.
Keterpurukan ini menandakan bahwa apabila prasyarat geo-politik tidak terpenuhi maka janganlah diharapkan cita-cita proklamasi akan tercapai.
Apabila kita telusuri lebih jauh lagi maka dapatlah difahami bahwa setelah prasyarat dipenuhi maka diperlukan satu metode umum atau strategi guna mewujudkan cita-cita diatas. Metode tersebut dinamakan geo-strategi, yaitu satu strategi dalam memanfaatkan kondisi lingkungan didalam upaya mewujudkan tujuan politik (cita-cita nasional).
Sedangkan upayanya itu sendiri akan terwujud sebagai program-program di dalam pembangunan nasional. Bagan berikut menunjukan tatanan dan sekaligus tataran pemikiran yang ada mulai dari ide tentang kekeluargaan dan kebersamaan hingga metode pelaksanaan pembangunan.
Geo-strategi Indonesia dirumuskan dalam bentuk Ketahanan Nasional yang unsur-unsur utamanya terdiri dari kualita keuletan dan kualita kekuatan/ketangguhan.
Keuletan sesungguhnya merupakan satu kualita integratif yang menunjukan adanya kebersamaan diantara sesama komponen yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Keuletan diperlukan dalam menghadapi tantangan/tekanan dari luar yang harus dihadapi secara elastis konsisten dan berlanjut.
Sebaliknya, unsur kekuatan/ketangguhan merupakan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dari masyarakt bangsa ke arah tata kehidupan yang lebih baik dikemudian hari.

Singkatnya dalam upaya pembangunan nasional, geopolitik dan geostrategi harus dijadikan pedoman yang tidak boleh sekali-kali dilupakan, tidak hanya oleh para perencana saja akan tetapi oleh kita sekalian seluruh anak bangsa.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan pembahasan
Ditempat awalnya geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang. Di Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional.
Mengingat geostrategi Indonesia memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan sebagainya, maka ia menjadi amat berbeda wajahnya dengan yang digagaskan oleh Haushofer, Ratzel, Kjellen dan sebagainya.
Geostrategi Indonesia berawal dari kesadaran bahwa bangsa dan negara ini mengandung sekian banyak anasir-anasir pemecah belah yang setiap saat dapat meledak dan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam era kepemimpinan Habibie dapat disaksikan dengan jelas bagaimana hal itu terjadi beserta akibatnya. Tidak hanya itu saja, tatkala bangsa kita lemah karena sedang berada dalam suasana tercabik-cabik maka serentak pulalah harga diri dan kehormatan dengan mudah menjadi bahan tertawaan di forum internasional. Disitulah ketidakberdayaan kita menjadi tontonan masyarakat internasional, y`ng sekaligus, apabila kita sekalian sadar, seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Apabila dikehendaki agar hal itu tidak akan terulang lagi, maka jangan sekali-kali memberi peluang pada anasir-anasir pemecah belah untuk berkesempatan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan nasional. Sentimen SARA yang membabi buta harus ditiadakan, yang mayoritas harus berlapang dada sedangkan minoritas haruslah bersikap proporsional tanpa harus mengurut dada. Sekali lagi terbukti bahwa pemimpin yang kuat dan disegani serta mengenal betul watak dari bangsa Indonesia amatlah diperlukan.
Dilain pihak masyarakat perlu menjadi arif serta pandai menahan diri dalam menghadapi provokasi maupun rongrongan/iming-iming melalu money politics. Atas dasar adanya ancaman yang laten, terutama dalam bentuk SARA, maka geostrategi Indonesia sebagai doktrin pembangunan mengandung metode pembentukan keuletan dan pembentukan ketangguhan bangsa dan negara. Kedua kualita yang harus dibangun dan dimanfaatkan secara konsisten itu tidaklah hanya ditujukan kepada individu warga bangsa akan tetapi juga kepada sistem, lembaga dan lingkungan.
Masyarakat bangsa berikut segala prasarananya harus terus dibina keuletannya agar mampu memperlihatkan stamina dalam penangkalan terhadap anasir-anasir pemecah belah bangsa dan negara. Dapat diantisipasikan bahwa hanya anasir-anasir tersebut bersifat laten atau hadir sepanjang masa, maka aspek atau kualita keuletan haruslah dikedepankan. Pembinaannyapun perlu berlanjut agar setiap generasi yang muncul faham akan pentingnya kedua kualita tersebut.
Kita dapat saksikan bersama bahwa tiap generasi baru merupakan lahan yang subur bagi upaya-upaya yang tidak sejalan dengan visi kebangsaan, dan ini tidak hanya terjadi di Indoensia saja. Kemajuan yang bersifat kebendaan, apalagi yang datang dari luar, saat ini lebih memiliki daya tarik terhadap generasi muda dibandingkan dengan hal-hal yang sifatnya falsafah dan konsepsional.
Dilain pihak masyarakat harus dibina ketangguhan/kekuatannya agar secara aktif serta efektif mampu menghadapi bahaya/ancaman yang sifatnya laten tadi. Setidak-tidaknya secara bergotong-royong dalam lingkungannya masing-masing mampu mengcontain ancaman/bahaya laten itu.
Ketangguhan/kekuatan bisa, antara lain, berupa keberanian dari massa masyarakat menghadapi apa saja yang mereka anggap dapat berpotensi sebagai anasir pemecah belah bangsa. Ini sudah barang tentu memerlukan kebersamaan dan kekompakan agar lebih efektif sebagai kekuatan penangkalan.
Integrasi bangsa adalah pemaduan berbagai unsur kekuatan bangsa ke dalam satu jiwa kebangsaan dengan aspirasi berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan ketentuan konstitusi. Proses integrasi bangsa adalah unik bagi tiap masyarakat bangsa yang sangat tergantung pada sejarah serta ciri budayanya.
Bagi masyarakat bangsa yang majemuk tetapi homogen, seperti Amerika, proses integrasi dilaksanakan dengan metode melting pot. Mengapa demikian, karena pada masyarakat Amerika tidak ada satupun kelompok masyarakat yang “berhak” mengklaim satu wilayahpun sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka, terkecuali suku Indian, karena hampir semuanya berasal dari keturunan imigran.
Tidaklah mengherankan apabila sebagai akibat tidak adanya ikatan historis maupun psikologis kepada wilayah maka sentimen “kedaerahan” atau “kewilayahan” tidak terjadi. Hal yang menguntungkan ini membuat setiap warga negara Amerika, apapun juga asal keturunannya dapat ditempa menjadi satu dalam satu kancah apapun dan dimanapun.
Memang seorang Gubernur satu negara bagian harus dipilih diantara warga negara bagian itu akan tetap tidak harus dipilih diantara mereka yang dilahirkan dinegara bagian yang bersangkutan. Disini sama sekali telah ada sentimen kedaerahan tersangkut.
Lain halnya dengan Indonesia yang masyarakatnya majemuk tetapi heterogen, metode melting pot tidak dapat dilakukan. Tiap suku memiliki kaitan historis dan psikologis dengan daerah tempat tinggal nenek moyangnya. Daerah pulau Bali seakan-akan menjadi “milik” orang Bali dan bukan “milik” warga pulau Bali karena itu hanya orang Bali saja yang dapat dicalonkan menjadi Gubernur Bali.
Logika lanjutannya dalah bahwa hanya orang Bali saja yang bisa dan mampu memahami budaya, adat istiadat maupun agama di daerah itu. Metode melting pot kadang-kadang juga tidak dapat diterapkan hanya pada tataran anatar propinsi saja, akan tetapi kadang-kadang antara Kabupaten di dalam satu propinsi juga sukar.
Sangat boleh jadi ini adalah warisan zaman penjajahan dahulu yang kita sekalian alpa menanganinya. Pada zaman Belanda tapak kultur, satu suku bangsa dijadikan propinsi, sedangkan tapak sub kultur dijadikan karesidenan.
Demikian politik devide et impera diterapkan menjadi geopolitik kolonial untuk menciptakan sentimen kedaerahan dan apabila memungkinkan didorong menjadi gesekan antar masyarakat pada wilayah sub kultur atau kultur.
Sayangnya geopolitik kolonial ini diwarisi, diteruskan dan malah diperberat lagi, misalnya Propinsi Sunda Kecil dimekarkan lagi Propinsi NTT dan NTB, kemudian dimekarkan lagi menjadi NTT, NTB dan Bali. Kini Maluku menjadi dua propinsi di Irian Jaya menjadi tiga propinsi; dan apalagi dikemudian hari.
Alasan yang digunakan adalah efisiensi manajerial dikaitkan dengan luas wilayah. Disini jelas nampak bahwa aspek geopolitik tidak diperhatikan, oleh karena itu pemekaran wilayah administratif pemerintahan akan sekaligus merupakan empat penyamaian bibit pertentangan sosial.
Kalau pendekatan melting pot tidak dapat diterapkan maka selayaknyalah kita kembali pada ide kesatuan yang diletakkan oleh para pendiri Republik ini, yaitu pendekatan kekeluargaan yang disublimasikan menjadi azas kekeluargaan dan bahkan dalam negara kekeluargaan. Inilah sesungguhnya merupakan turunan (derivative) dari harmoni/keseimbangan.
Didalam satu keluarga maka kepentingan keluarga harus mendahului atau didahulukan daripada kepentingan anggota keluarga sebagai individu. Kepentingan nasional harus didahulukan dari kepentingan propinsi; dan pada gilirannya kepentingannya propinsi didahulukan ketimbang kepentingan Kabupaten. Demikian seterusnya secara berjenjang yang pada ujungnya terbawah berupa kepentingan individu yang harus disubkoordinasikan pada kepentingan umum. Itulah idealnya.
Dalam masyarakat heterogen dan majemuk yang berazaskan kekeluargaan, kualita keuletan diwujudkan dalam bentuk kait mengait secara integratif (bukan secara agregratif) menjadi jaringan kepentingan yang hierarkhis dan berjenjang. Dengan demikian mengupayakan terwujudnya jaringan integratif (dalam semangat gotong-royong) secara berjenjang dan berhierarkhi berskala nasional adalah geostrategi Indonesia untuk mewujudkan dan sekaligus mempertahankan integrasi bangsa. Sedangkan kualita ketangguhan/kekuatan diwujudkan melalui perkuatan dari tiap entity atau pelaku integrasi bangsa.
Hal itu diwujudkan melalui pendekatan kekuasaan (dan distribusi kekuasaan) yang terkandung dalam geopolitik, yaitu yang berupa desentralisasi dan dikonsentrasi secara penuh dan konsekuen. Bilamana perkuatan ini dilaksanakan secara bersungguh-sungguh dan konsisten, ada kemungkinan tidak perlu terburu-buru mengadakan pemekaran wilayah administratif.
Dalam era globalisasi ini muncullah tantangan baru yang lebih “soft” atau “canggih” yang berupa dengungan ilmiah bahwa negara bangsa atau nation state seperti Indonesia sudah tidak memadai lagi, dan harus diganti dengan bentuk lain, misalnya berupa negara suku (ethnic state), negara kepentingan (corporate state) dan negara agama (religious state), dan sebagainya.
Dalam alur pikir demikian itu, pemisahan Timor Timur dari Indonesia adalah normal dan bukan malapetaka karena adanya kepentingan yang berbeda; demikian juga seandainya terjadi pemisahan lainnya dimasa mendatang. Satu pertanyaan yang perlu dipikirkan jawabannya adalah: “Apakah masuknya alur pikir diatas ke Indonesia sekadar merupakan konsekuensi globalisasi ataukah merupakan subversi yang terencana global?”
Geostrategi Indonesia adalah metode yang harus digunakan dalam pencarian jawaban atas pertanyaan diatas, sebab, bentuk-bentuk negara sebagai alternatif negara-bangsa mempunyai konsekuensi ruang, kekuasaan maupun budaya yang berbeda.
Apapun jawabannya, berbagai bentuk negara yang tidak sejalan dengan kesepakatan para pendiri Republik merupakan pengingkaran terhadap commitment bersama yang sekaligus menjadi ciri jatidiri bangsa. Disitulah diperlukan keuletan bangsa.


B. Disintegrasi Bangsa
Secara harfiah disintegrasi bangsa bermakna hilangnya kaitan integratif antar unsur-unsur kekuatan bangsa, sehingga hubungan menjadi longgar dan pada gilirannya azas kekeluargaan ditinggalkan. Selama periode antara menjelang Pemilu 1999 hingga selesainya SU MPR merupakan periode di dalam mana para elite politik mendemonstrasikan secara vulgar cara-cara menyulut dis-integrasi bangsa. Terlalu salahkah kalau pengikutnya masing-masing menyanyikan irama serupa?
Bila dilihat dari segi geopolitik dan geostrategi maka anasir dis-integrasi dapat dibedakan antara anasir luar dan dalam negeri.
1. Anasir Luar
Sejak sirnanya Uni Soviet, Barat muncul sebagai pemenang ideologi dan sekaligus merasa sebagai pemenang “budaya”. Dalam suasana ephoria semacam itu muncullah keyakinan dalam masyarakat Barat bahwa nilai-nilai yang mereka anut adalah superior dan harus dipaksakan ke seluruh jagat raya dengan rumusan bahwa sistem nilai yang mereka anut memiliki kebenaran dan karenanya juga validitas universal. Sebagai contoh salah satu tujuan strategi Amerika Serikat di kawasan Asia Pacific adalah mendorong dan mendukung proses demokratisasi (tentu saja demokratisasi sesuai dengan yang berlaku di sana).
Ini adalah bagian dari dokumen Pentagon yang logikanya hanya berwarna militer. Sudah barang tentu tujuan itu dapat dijabarkan menjadi tindakan nyata dalam bentuk terbuka maupun tertutup (subversi) dengan menghalalkan segala cara, dan yang paling murah dan kecil resiko fisiknya adalah melalui uang.
Tindakan terbuka antara lain memberikan bantuan peningkatan kualitas SDM Indonesia, khususnya generasi muda, melalui penyediaan informasi secara luas dan terbuka, bantuan pendidikan di luar negeri, pertukaran siswa, tenaga professional, dan sebagainya. Upaya terbuka ini dengan sangat mudah ditumpangi dengan muatan kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat, supremasi budaya Barat, dan sebagainya.
Bahkan pertukaran misi kebudayaanpun dapat dijadikan wahana yang baik untuk maksud tersebut; apalagi film atau sinetron. Sedangkan tindakan tertutup, antara lain, bisa berupa pengadudombaan antar kekuatan dalam masyarakat, mempengaruhi pemilihan pejabat penting (apalagi jabatan Presiden), perumusan kebijaksanaan dan sebagainya.
Usaha merekapun mendapat dukungan berbagai peluang dalam melancarkan tindakan subversi, antara lain, adanya bibit pertentangan yang multi dimensional di dalam negeri, adanya kebiasaan korupsi dan money politics, dan sebagainya, serta ditambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa aparat intelegen serta TNI sedang terus dihujat sehingga tumpul sekali.
Pertanyaan lanjutannya adalah : “Apakah Indonesia akan selalu menjadi sasaran intervensi dan subversi asing?” Jawabnya “ya”, karena beberapa hal:
a) Secara geopolitik Indonesia “menduduki” Sea Lines of Communication (SLOC) atau alur pelayaran vital diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindie, sehingga Indonesia harus dibuat pro-Barat dan sekurang-kurangnya akomodatif terhadap kepentingan barat. Terlebih lagi diantara 7 (tujuh) selat strategis dunia, 4 (empat) berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Sudah barang tentu, menurut pandangan geopolitik Alfred Thayer Mahan Indonesia memiliki bargaining power yang kuat berupa choke-paints dalam pengendalian lalu lintas laut yang melewati SLOC.
b) Dalam suasana kecemasan pihak Barat terhadap perkembangan Islam yang dashyat, mereka melihat Indonesia merupakan negara yang moderat. Karena itu ada kepentingan menjaga Indonesia, agar tetap moderat dan bersahabat. Untuk itu harus dilakukan berbagai bentuk subversi.
c) Potensi Indonesia sebagai penjuru Asean (atau memiliki Power Position di Asia Tenggara), dengan luas wilayah ½ (setengah) dari seluruh wilayah Asia Tenggara. “Memegang” Indonesia berarti “memegang” Asean dan ini merupakan aset politik yang luar biasa dalam rangka membendung pengaruh Cina yang oleh pihak Barat dipersepsikan sebagai ancaman masa depan.
Karena itulah kita sekalian tidak boleh naif, dengan mengganggap bahwa dalam pemilihan Presiden tidak akan intervensi luar. Indonesia terlalu “berharga” untuk dibiarkan jatuh ke dalam lingkaran sphere of influence yang tidak/kurang bersahabat dengan Barat.
Strategi
Dalam menghadapi anasir-anasir luar perlu disusun satu geostrategi dengan memperhatikan adanya kenyataan bahwa dunia telah saling terkait satu sama lain dengan derajat transparansi yang semakin tinggi. Geostrategi itu juga dilandasi dengan kesadaran bahwa Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup untuk menjamin rasa aman rakyat maupun kelangsungan pembangunan nasional, apabila tidak didukung oleh Ketahanan Regional. Atas dasar itu maka geostrategi Indonesia secara stereoskopis berbentuk sebagai satu Kerucut Ketahanan (periksa gambar – 2).
Kerucut Ketahanan pada dasarnya merupakan satu arsitektur kerjasama, yang pada bidang dasarnya adalah visualisasi kerjasama spatial sedangkan pada bidang vertikalnya adalah visualisasi dari kerjasama struktural yang terproyeksikan secara kawasan. Kerucut Ketahanan harus dibina secara bersama-sama agar manfaatnya dapat terwujud yaitu berupa “penyangga” atau “selubung” bagi Ketahanan Nasional kita. Arsitektur demikian ini adalah representasi dari kesadaran ruang yang harus terus dihidupkan agar dapat menjadi acuan visi politik luar negeri (termasuk politik perekonomian) dan politik pertahanan.
Ketahanan tingkat regional, dimana para unsur pelakunya merupakan negara-negara berdaulat hanya bisa terwujud apabila terdapat saling percaya, saling menghormati yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama se-erat-eratnya atas dasar manfaat bersama. Kebersamaan yang multi-dimensional ini meliputi bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan keamanan. Mengingat luasnya ruang yang ada maka arsitektur kerjasama diwujudkan secara tiga dimensional sebagai berikut :
a). Secara spasial, ruang kepentingan dibagi menjadi Kawasan Strategis Utama, Kawasan Strategis pertama, Kawasan Strategis kedua dan ketiga. Masing-masing kawasan strategis memiliki dampak yang berbeda terhadap Ketahanan Nasional kita.
Adalah Asean / Asia Tenggara (Kawasan A) yang kita anggap memiliki dampak
paling langsung seandainya terjadi apa-apa di dalam kawasan tersebut oleh karenanya kepentingan kita amat vital untuk menciptakan kebersamaan dalam kawasan ini. Karena itu seyogyanyalah kawasan Asean atau proses Asean pada umumnya dijadikan “corner stone“ dari politik Luar Negeri Indonesia. Demikianlah seterusnya dengan kawasan-kawasan berikutnya yaitu B dan C yang memiliki tingkat kesegeraan dari dampak yang timbul di masing-masing kawasan terhadap Indonesia.
b). Secara fungsional / vertikal, ruang kepentingan dibagi menjadi ruang kerjasama yang saling mendukung dengan ruang kerjasama sub-regional (misalnya Asean) dan pada gilirannya juga harus saling mendukung dengan ruang kerjasama regional (misalnya APEC, ARF dsb-nya). Kita mengetahui bahwa tiap anggota Asean menjalin kerjasama bilateral dengan banyak negara ataupun secara multilateral. Akan tetapi mengingat tiap anggota Asean mematuhi traktat Asean dan TAC, maka diharap atau bahkan dapat diasumsikan bahwa berbagai kerjasama yang dilakukan tidak merugikan Asean ; dan bahkan memperkokoh posisi Asean. Demikian juga pada gilirannya tiap anggota Asean juga menjadi anggota ARF maupun APEC, maka diharapkan kedua forum dalam cakupan ruang yang berbeda luasnya itu dapat saling menunjang dan menambah kredibilitas Asean.
Apabila pembentukan kerucut ketahanan merupakan geostrategi Indonesia didalam menangkal anasir-anasir luar, maka didalamnya harus dilandasi oleh saling percaya dan saling menghargai tadi. Untuk itu, Ketahanan Regional pada arsitektur kerucut pada dasarnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a). Ketahanan Nasional tiap negara di dalam kerucut perlu diupayakan se-optimal mungkin, agar dapat memberikan kontribusi positif pada kawasannya. Asumsinya adalah bahwa hanya dengan Ketahanan Nasional yang baik sajalah satu negara akan dapat memberikan peran yang bermakna pada kawasan. Sebaliknya, apabila in-stabilitas politik dan ekonomi terus mengguncang satu negara mana mungkin negara bersangkutan menyisakan waktu untuk menopang kepentingan kawasan.
b). Komitmen terhadap asosiasi negara sekawasan haruslah utuh dan konsisten (misalnya sesuai TAC) agar dengan demikian kepentingan bersama (misalnya saja Asean) tidak disubordinasikan pada kepentingan lainnya (misalnya saja kepentingan FPDA). Komitmen terhadap Asean akan menguat apabila organisasi ini dapat memberikan manfaat bagi anggotanya ; setidak-tidaknya mampu memberikan exposure internasional yang bergengsi. Sebaliknya apabila kemanfaatan rendah (seperti SAARC) maka jangan diharapkan terwujud komitmen yang solid. Disini nampak bahwa manakala komitmen bagus dari seluruh anggota asosiasi, maka kawasan yang bersangkutan tidak akan kondusif bagi persemaian anasir-anasir negatif bagi tiap negara anggota.
c). Kualitas interaksi antar anggota asosiasi yang komponen-komponennya adalah tingkat kerjasama (dalam arti kualitasnya) dan kemauan untuk mengakomodasikan kepentingan negara anggota lainnya di dalam kebijaksanaan nasional. Terutama yang terakhir ini, ia hanya dapat terwujud apabila sudah terjalin rasa saling percaya. Sebagai contoh : kepentingan Singapura untuk menjamin keselamatan penerbangan dari dan ke Singapura telah diakomodasikan oleh Indonesia dalam bentuk pemberian delagasi atas sebagian FIR Indonesia. Selain saling percaya, kualitas interaksi juga menunjukkan adanya komitmen yang kuat.
d). Kemampuan adaptasi dari asosiasi terhadap fluktuasi maupun arus perkembangan lingkungan. Sesungguhnya hal ini merupakan indikator terhadap kualitas kebersamaan yang telah terjalin.
2. Anasir Dalam
Modernisasi disegala bidang ternyata telah memperlebar irisan pemilahan (social cleavage) ditengah-tengah masyarakat; sesuatu yang selalu menjadi kekhawatiran dan obsesi para pendiri Republik. Mulai dari pemilihan bahasa nasional, yang bukan berasal dari bahasa daerah suku yang mayoritas dapat merupakan unsur integratif karena tidak lagi suku bangsa ini. Kita harus selalu ingat dan waspada bahwa bangsa kita menegara adalah berkat kesepakatan, karena itu tidaklah tepat apabila demi kemajuan demokrasi (agar mendapatkan pujian dari luar negara) semua kesepakatan diabaikan.
Jerawanan yang melekat pada diri bangsa setiap saat dapat mengemuka menjadi unsur dis-integratif yang mematikan, mereka antara lain adalah:
1) Ketimpangan pertumbuhan antara Indonesia bagian barat dengan pertumbuhan bagian timur; dan juga antara Jawa dengan luar Jawa. Sesungguhnya hal ini bukan merupakan kesengajaan pemerintah (sejak zaman kolonial) akan tetapi dapat dipersepsikan secara keliru bahwa ada unsur kesengajaan dari pihak Pusat untuk menelantarkan daerah-daerah yang kurang maju. Lebih buruk lagi, ketimpangan yang terjadi diinterprestasikan sebagai ketidakadilan pemerintah Pusat. Bukankah hal ini pernah memicu berbagai jenis pemberontakan bersenjata dimasa lalu? Apa yang terjadi sekarang ini di Aceh, Maluku dan Irian Jaya adalah merupakan pengulangan dari yang pernah terjadi, atau dapat juga dikatakan bahwa Pusat tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalunya. Padahal kalau dilihat secara jernih, faktor curah hujan yang lebih banyak, tanah yang lebih subur, tersedianya tenaga terampil yang cukup mendorong Indonesia bagian barat lebih mudah berkembang. Sedangkan untuk masalah pemasaran, jumlah penduduk yang besar merupakan sesuatu hal yang mendorong kegiatan perekonomian yang lebih cepat dari di timur; belum lagi sistem sirkulasi yang baik untuk distribusi dalam negeri maupun untuk eksport. Akan tetapi memang harus diakui bahwa kenyataan-kenyataan semacam ini akan selalu terbenam dibawah timbunan kemarahan terhadap pemerintah pusat apalagi kalau dicampuri oleh kehadiran para provokator seperti di Ambon dan tempat-tempat lainnya. Rasa tentang adanya ketidakadilan (belum tentu seluruhnya benar) ditangan para petualang poitik dapat memicu konflik SARA yang memang merupakan social clearage bangsa kita.
2) Mencairnya perekat kesatuan dan persatuan bangsa dibawah tekanan globalisasi dan modernisasi yang lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat kasat mata.
Kemajuan yang antara lain ditandai oleh GNP, Income per capita, produktivitas dalam ton/jam atau ton/luas tanah, dan sebagainya, tidaklah mudah untuk memompakan hal-hal yang sifatnya mental ideologis. Terlebih lagi dengan tingkah laku para remaja yang sangat menggandrungi budaya global, maka masa depan wawasan kebangsaan sebagai perekat sosial kelihatannya tidak terlalu menggembirakan; apalagi kalau dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa lembaga pendidikan hanya menyuguhkan pengajaran saja. Keadaan semacam ini membuka peluang yang amat luas bagi kemerosotan kedaulatan bangsa didalam menghadapi tantangan mendatang yang antara lain berbentuk individualisme yang sangat diametral dengan azas kekeluargaan. Tidaklah terlalu mengherankan bahwa rasa dilibas oleh logika dalam kaitannya dengan Pancasil, antara dengan mengatakan bahwa ideologi bukanlah merupakan salah satu syarat bagi berdirinya satu negara karena itu buat apa dipertahankan, apalagi dikeramatkan. Itulah kira0kira argumentasi dari generasi mendatang yang hidup dalam dunia tanpa batas.
3) Primordialisme sebagai strategi politik dengan tujuan untuk menekan lawan atau pemaksaan kehendak. Ini adalah pemanfaatan secara licik kerawan bangsa yang amat mengkhawatirkan oleh kelompok politik yang tidak yakin bahwa tujuan politiknya dapat tercapai, apapun penyebabnya.
Pada saat kampanye pemilu tiba atau pada saat menjelang dan selama sidang umum MPR maka terjadilah tontonan yang berupa pemanfaatan kelompok-kelompok primordial sebagai pressure group dengan berbagai caranya. Ditingkat daerah terjadi hal yang sama pada saat pemilihan kepala daerah, terutama ditingkat satu. Apabila kejadian semacam ini berlangsung lama atau dalam frekuensi yang semakin meninggi maka irisan pemilahan sosial dapat berubah menjadi jurang lebar yang menghalangi persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan memahami anasir-anasir dalam dan luar negeri seperti diuraikan diatas, maka hal yang paling jelek bagi Indonesia adalah apabila anasir dalam ditumpangi oleh anasir luar. Ada semacam kecurigaan bahwa hal itu bisa terjadi setiap saat apabila kondisi didalam negeri diwarnai oleh konflik politik berkepanjangan, dan rule of law tidak berjalan. Memahami itu semua maka diperlukan satu strategi pembinaan masyarakat.
C. Strategi
Untuk mewujudkan pembinaan keuletan dan ketangguhan bangsa didalam menghadapi tuntutan dan tantangan masa depan perlu disusun strategi sebagai berikut:
a. Jalur Pembinaan
1) Strategi pembinaan setiap individu, dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berwawasan nasional, dilaksanakan dengan strategi 4 (empat) jalur, yaitu:
a) Jalur pembinaan keluarga, ditujukan untuk menjangkau para pemuda dan remaja dalam menghayati norma-norma moralita bangsa didalam suasana lingkungan keluarga.
Upaya ini diharapkan agar sejak awal dapat menanamkan masalah kebangsaan, rasa kebangsaan serta kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
b) Jalur pembinaan pendidikan, ditujukan untuk secara formal membina keuletan dan ketangguhan yang diselaraskan dengan tingkat serta perkembangan daya pikir serta pemikiran anak didik.
c) Jalur pembinaan lingkungan kerja ditujukan untuk menjangkau lapisan masyarakat yang berada pada tingkatan umur kerja. Dengan menggunakan pendekatan persuasif dan promotif terhadap pimpinan lingkungan kerja secara tepat diharapkan jalur ini akan paling efektif. Disini terdapat kesempatan untuk menjangkau secara luas setiap kepala keluarga; sehingga keberhasilan pada jalur ini akan membantu jalur pembinaan keluarga.
d) Jalur pembinaan lingkungan pergaulan, dimaksudkan untuk menjangkau lapisan masyarakat yang tidak terjangkau melalui ketiga jalur pembinaan lainnya.
2) Strategi pembinaan masyarakat dimaksudkan untuk mengendalikan agar perkembangan masyarakat dan pergeserannya tidak menyimpang dari moralita bangsa serta kondusif bagi terlaksanakannya kebijaksanaan pokok.
Strategi pembinaan 2 (dua) jalur mencakup:
a) Jalur pembinaan langsung, ditujukan untuk memperoleh hasil langsung secara lebih cepat dengan menggunakan/melalui perangkat organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan yang ada. Peranan pemerintah sangat aktif dan besar dalam rangka pencapaian hasil segera. Metode yang digunakan antara lain berupa tatap muka, pemerataan, pengaturan, perijinan dan kewenangan-kewenangan lain yang dimiliki pemerintah.
b) Jalur pembinaan tidak langsung, ditujukan untuk merangsang dan menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat. Penumbuhan motivasi ini dilaksanakan melalui media massa, tokoh-tokoh pimpinan informasi, ormas serta orpol dan sebagainya.
3) Strategi Pembinaan Kelembagaan
Pembinaan kelembgaan dimaksudkan untuk menciptakan kelancaran pembangunan nasional dan dengan demikian juga pemantapan dan peningkatan Ketahanan Nasional.
Keberhasilan pembangunan nasional hanya mungkin diwujudkan manakala lembaga-lembaga yang terlibat dalam pembangunan nasional yang terancam secara komprehensif integral.
Strategi pembinaan kelembagaan ditempuh melalui 2 (dua) jalur yaitu:
a) Jalur pembinaan perangkat lembaga, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan setiap lembaga yang terlibat dalam proses pembangunan pada semua aspek berbangsa dan bernegara.
Termasuk didalamnya adalah pengembangan kelengkapan personil, keahlian personil, mekanisme kerja dan memantapkan koordinasi vertikal, horizontal dan diagonal.
Pemantapan peranan tiap lembaga juga mendapatkan prioritas pembinaannya agar terwujud semua mata rantai lembaga yang utuh.
b) Jalur pembinaan kemampuan manajerial, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manajerial tiap pejabat pemerintah maupun swasta di dalam bidang pekerjaan masing-masing.
Khusus untuk sektor swasta pembinaan kemampuan manajerial ini juga ditujukan untuk menumbuhkan kewiraswataan dikalangan masyarakat.
4) Strategi Pembinaan Lingkungan
Pembinaan lingkungan dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap pembangunan nasional maupun terhadap kehidupan masyarakat.
Strategi pembinaan 2 (dua) jalur meliputi:
a) Jalur pembinaan dampak positif dari lingkungan guna menciptakan dan memperbesar peluang-peluang yang bermanfaat bagi upaya pembangunan maupun bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat.
b) Jalur penggalangan dampak negatif dari lingkungan untuk menekan akibat dari dampak negatif tersebut agar tetap berada dibawah ambang toleransi keamanan dan pengamanan.












BAB III
KESIMPULAN
Pada awalnya geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang. Di Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional.
Singkatnya dalam upaya pembangunan nasional, geopolitik dan geostrategi harus dijadikan pedoman yang tidak boleh sekali-kali dilupakan, tidak hanya oleh para perencana saja akan tetapi oleh kita sekalian seluruh anak bangsa.


















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Darmo, Diharjo.1989.Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Jakarta: Laboratorium Pancasila
http://thinkquantum.wordpress.com/2009/12/09/geostrategi/
http://www.geounesa.net/news/index.php?option=com_content&view=article&id=87
:geostrategi-indonesia-dalam-kepentingan-teritorial&catid


EmoticonEmoticon